KERAJAAN KEDIRI
KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.
Hal
ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan
Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan
pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan
Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan
Kerajaan Kahuripan.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena
kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri
Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota
baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan
kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tidak
ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa
bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian.
Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu
Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan
mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi
Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi
besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala
ditaklukkan oleh Kediri.
Menurut
Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin
Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala
lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang
sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada
mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama
Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh
raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam
kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Wilayah
Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang
diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136)
menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian,
berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi
kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin
Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Nama
Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau
“Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi”
berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno
pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita
hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng,
“Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri”
yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa
Jumenengan).
Untuk
itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya
berbunyi :
”
Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”,
artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama
Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti :
Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian
pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti
Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa
Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker
berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.
Dalam
prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri”
artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti
Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka,
tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga
menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka
ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di
Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir
malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala
Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah
Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil
lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya
terkenal hingga sekarang.
Raja-Raja
Kerajaan Kediri
Kerajaan
Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai
masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah
kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah
Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.
Adapun
8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1.
Sri Jayawarsa
Sejarah
tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting
(1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat
desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari
prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap
masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
2.
Sri Bameswara
Raja
Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung
Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat
masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan
pemerintahannya.
3.
Prabu Jayabaya
Kerajaan
Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi
kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat
mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota
di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur,
sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil
pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai
Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan
berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil
bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu
menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri
benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata
Tentrem Karta Raharja”.
Prabu
Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual
dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak
tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan
Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.
Jika
rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa
pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap
rakyat.
4.
Sri Sarwaswera
Sejarah
tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti
Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera
memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah
(semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut
Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu
pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang
menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah
tidak benar.
5.
Sri Aryeswara
Berdasarkan
prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar
tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak
diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya
berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu
Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri
selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.
6.
Sri Gandra
Masa
pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring,
yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama
gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat
seseorang dalam istana.
7.
Sri Kameswara
Masa
pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan
Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185
Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu
Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga
dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8.
Sri Kertajaya
Berdasarkan
prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197),
prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri
Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi.
Raja
Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa
pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya
ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.
Keadaan
ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri
waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan
ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.
Mengetahui
hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel.
Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke
Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Kitab
Perundang-undangan
Sistem
Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung
dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum
tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta
konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan
tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi
Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan,
Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang
diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Pada
pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai
Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini
perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan
kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab
Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang
Hukum Perdata.
Tata
cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam
Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum
ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana,
jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan
Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Sistem
Peradilan Kerajaan
Sistem
peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan
adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat
dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan
serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati
hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama.
Semua
keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi
artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja
ditegaskan demikian:
Semoga
Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan
sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari
tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan
negaranya (Moedjanto, 1994:56).
Dalam
soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma
Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan
kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan
agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan
agama.
Kedudukan
Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu
dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu
Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya :
Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang
Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang
Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat
Pamotan.
Mereka
itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi
negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan
Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk
golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan.
Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak
dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat
Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare.
Ketika
Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di
antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang
(Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu
para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih
dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan
Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada
zaman Kadiri.
Lembaga
peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan
tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya,
menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap
hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang
mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.
Hukum
Positif dan Budaya Simbolik
Dalam
masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi
menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan
hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama.
Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan
lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik,
karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran
hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di
samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan
pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka
diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat
dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka
hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas
menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Empu
Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157
Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu
Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha
dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana
atau Sri Warmeswara.
Tingkat
kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit
negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari
oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis,
lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya
pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi
dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum
positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai
ketertiban sosial.
Prabu
Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing
madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat
ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai
masa kejayaan dan keemasan.
Selama
Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara
sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia
Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade,
Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara
yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa,
dijadikan sebagai program utama yaitu :
Wastra (sandang)
2. Wareg (pangan)
3. Wisma (papan)
4. Wasis (pendidikan)
5. Waras (kesehatan)
6. Waskita (keruhanian), dan
7. Wicaksana (kebijaksanaan).
Masyarakat
Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta
menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung
pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan
referensi untuk membawa kebesaran Nusantara.
Kebesaran
dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang
selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam
menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada
konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat
kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan
amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan
ketentraman rakyat.
Peninggalan
Kerajaan Kediri
Sumber
sejarah kerajaan Kediri dapat di
telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya :
Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M
menjelaskan kemenangan Panjalu atas
Jenggala.
Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M
menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat
pemberian hadiah tanah kepada rakyat
desa oleh Jayawarsa.
Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan
Kertosono berisi masalah keagamaan
, berasal dari raja Bameswara.
Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja
Jayabaya yang memberikan hadiah kepada
rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.
Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra
yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo
Waruga dan Tikus Jinada.
Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa
pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah
memusuhi istana Katang-Katang.
Candi Penataran : Candi termegah dan
terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di
sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang
tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja
Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan
sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun
1415.
Candi Gurah : Candi Gurah terletak di
kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang
jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah
namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
Candi Tondowongso : Situs Tondowongso
merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun
Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini
dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam
30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun
Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957.
Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah
perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang
ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal
(abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun
tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
Arca Buddha Vajrasattva : Arca Buddha
Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang
merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Prasasti Galunggung : Prasasti Galunggung
memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti
ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung
banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi.
Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain
prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian
depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada
gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di
salah satu sisi prasasti.
Candi Tuban : Pada tahun 1967, ketika
gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi
menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi.
Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang
melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker.Massa pun
beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh
Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini
terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya
tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas
candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.
Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali
menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah,
pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas
Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki
Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan,
maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
Prasasti Panumbangan : Pada tanggal 2
Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang
permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas
daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa
Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di
Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah
Sri Jayawarsa.
Prasasti Talan : Prasasti Talan/ Munggut
terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058
Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada
bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda
serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa
Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar
dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada
tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya
sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar
prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha.
Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga
Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah
berupa berbagai macam hak istimewa.
Peninggalan
Kitab Kerajaan Kediri
Pada
zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang
dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :
Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung
yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu
Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini
juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang
berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena
pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang
berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean
suka menolong dan sakti.
Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna
yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu.
Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu
Sedah dan Empu Panuluh.
Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa
yang diubah oleh Empu Panuluh.
Kehidupan
Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri
Mapanji
Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 –
1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama
60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga
munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada
masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga
kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara
menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit
yang biasa disebut Candrakapala. Setelah
Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya
itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak
Jayabaya sebagai berikut.
Pada
tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga
berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan
kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari
Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai
kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk
mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu.
Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris
tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri
Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih
menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir.
Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu
kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu)
dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.
Hal
ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan
yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-
bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan
suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran
dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan
kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Kehidupan
Ekonomi Kerajaan Kediri
Strategi
kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat
mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah
kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh
menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota
membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam
ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil
bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu
menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri
benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata
Tentrem Karta Raharja.
Dalam
kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas
usaha perdagangan, peternakan, dan
pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara
ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah
cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan
tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian
keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab
Ling-wai-tai-ta.
Untuk
menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan
sistem pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa
beras, kayu, dan palawija.
Kehidupan
AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri
Agama
yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga
titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju
(Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan
mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan
tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang
sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur.
Hal
ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu
Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal
owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda
jaman saat ini.
Prabu
Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari
Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap
merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak
dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau,
hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana
dan adil terhadap rakyatnya.
Kehidupan
beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal
yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa
susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu
disusun sebagai berikut :
Bab
I : Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan
diplomasi, aliansi, konstribusi
dan sanksi.
Bab
II : Astadusta, berisi tentang sanksi delapan
kejahatan (penipuan, pemerasan,
pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan
pembunuhan)
Bab
III : Kawula, berisi tentang hak-hak dan
kewajiban masyarakat sipil.
Bab
IV : Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
Bab
V : Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan
transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
Bab
VI : Adol-atuku, berisi tentang hukum
perdagangan.
Bab
VII : Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara
pengelolaan lembaga pegadaian.
Bab VIII
: Utang-apihutang, berisi
aturan pinjam-meminjam
Bab
IX : Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan
penyimpanan barang.
Bab
X : Pasok Tukon, berisi tentang hukum
perhelatan.
Bab
XI : Kawarangan, berisi tentang hukum
perkawinan.
Bab
XII : Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak
asusila.
Bab
XIII : Drewe kaliliran, berisi tentang sistem
pembagian warisan.
Bab
XIV : Wakparusya, berisi tentang sanksi
penghinaan dan pencemaran nama baik.
Bab
XV : Dendaparusya, berisi tentang sanksi
pelanggaran administrasi
Bab
XVI : Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian
yang menyebabkan kerugian publik.
Bab
XVII : Atukaran, berisi tentang sanksi karena
menyebarkan permusuhan.
Bab
XVIII : Bumi, berisi tentang tata cara pungutan
pajak
Bab
XX : Dwilatek, berisi tentang sanksi karena
melakukan kebohongan publik.
Kehidupan
Sosial Dan Budaya
Kondisi
masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah
lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan,
keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit
memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian
raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka
yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya
martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi
berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan
menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada
zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang
dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada
Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena
tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu,
nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu
berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079
Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya
dan Hariwangsa.
Pada
masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai
berikut.
Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk
tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang
digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang
titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya
adalah Dahana.
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung.
Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk
neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat
ke surga.
Selain
karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman
Kediri, antara lain sebagai berikut.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang
berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena
suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna
yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya
cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita
Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan
Kunjarakarna.
Karya
di Bidang Hukum Tata Negara
Empu
Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026
Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga
menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan
tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk
mengaktualisasikan idealismenya.
Pernyataan
ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya
hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin
Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan.
Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai
tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan
Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di
Kerajaan Kadiri.
Menilik
nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat
diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua
Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu Jayawarsa.
Karya
hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita
yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang
Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar,
baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa
Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka
berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati
oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam
memimpin rakyatnya.
Karya
hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan
Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya
sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara
memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.
Kerajaan Kediri mengalami masa
keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri
didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja,
Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia
paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah
kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban,
terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun
dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh ,
Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan warisan ruhani
bermutu tinggi
Kejayaan
Kerajaan Kediri
Kerajaan
Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah
kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir
ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai
masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat
itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou
Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan
Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang
besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian.
Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.
Runtuhnya
Kerajaan Kediri
Kerajaan
Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih
dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan
”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum
brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya
kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi
hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum
Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah
oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang
lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang
Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan
serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam
pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil
meloloskan diri.
Dengan
demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri
menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan
Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.
KESIMPULAN
Kerajaan
Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di
Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut
diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri ( sekarang ) ini
mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal
dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya
cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri
telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.
Hal
ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan
memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah
muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab
Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu
merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami
kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan.
Kehidupan
yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada.
Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang
berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik
yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya
pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas
dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak
berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan
Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).
Kerincuhan
dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana
ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan
meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya
melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada
akhirnya bernama Singasari.
Namun,
keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan
salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem
pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan
secara gilang-gemilang.
ERAJAA
0 komentar:
Posting Komentar