Latest Posts

Selasa, 30 Oktober 2018

KERAJAAN BANTEN

 KERAJAAN BANTEN


 


    Pada awal abad ke-16, daerah pajajaran yang beragama hindu. pusat kerajaan ini berlokasi di pakuan ( sekarang bogor ). kerajaan pajajaran memiliki bandar-bandar penting seperti banten, sunda kelapa ( jakarta ) dan cirebon.

    Kerajaan pajajaran telah mengadakan kerja sama dengan portugis. oleh kerena itu, portugis diizinkan mendirikan kantor dagang dan benteng pertahanan di sunda kelapa. untuk membendung pengaruh portugis di pajajaran, sultan trenggono dari demak memrintahkan fatahilah selaku panglima perang demak untuk menaklukan bandar-bandar pajajaran. pada tahun 1526, armada demak berhasil menguasai banten.

    Pasukan fatahillah juga berhasil merebut pelabuhan sunda kelapa pada tanggal 22 juni 1527. sejak saat iru nama “sunda kelapa” diubah menjadi “jayakarta” atau “jakarta” yang berarti kota kemenanggan. tanggal itu ( 22 juni ), kemudian dijadikan hari jadi kota jakarta.

    Dalam waktu singkat. seluruh pantai utara jawa barat dapat dikuasai fatahillah,agama islam lambat laun tersebar di jawa barat. fatahillah kemudian menjadi wali ( ulama besar ) dengan gelar sunan gunung jati dan berkedudukan di cirebon. Pada tahun 1552, putra fatahillah yang bernama hasanudin diangkat menjadi penguasa banten. putranya yang lain, pasarean diangkat menjadi penguasa di cirebon. fatahillah sendiri mendirikan pusat kegiatan keagamaan di gunung jati, cirebon sampai beliau wafat pada tahun  pada tahun 1568. jadi, pada awalnya kerajaan banten merupakan wilayah kekuasaan kerajaan demak.

    Syiar Islam ke Banten dan Pendirian Kesultanan Banten



Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir.

Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.

Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin : nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di

Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.

    Penguasaan Banten



Pada tahun 1522, Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung serta masjid di kawasan Pacitan. Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin) setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m.

Pada tahun 1524 m, Sunan Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten. Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.

Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.

Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.

Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.

    Banten Sebagai Kesultanan

Kesultanan Banten menjadi kesultanan yang mandiri pada tahun 1552 setelah Maulana Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.

Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.

Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar “Sultan” pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.

    Perang Saudara

Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk



mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.



Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.



Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Raja-Raja Kerajaan Banten
1. Sultan hasanuddin

Ketika terjadi perebitan kekuasaan di kerajaan demak, daerah banten dan cirebon berusaha melepaskan diri dari kekuasaan demak. akhirnya, banten dan cirebn menjadi kerajaan yang berdaulat, lepas dri pengaruh demak. sultan hasanuddin menjadi raja banten yang pertama. ia memerintah banten selama 18 tahun, yaitu tahun 1552 – 1570 M. di bawah pemerintahannya, banten berhasil menguasai lampung ( di sumatra ) yang banyak menghasilkan rempah-rempah dan selat sunda yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan.

Selama pemerintahannya, sultan hasanuddin berhasil membangun pelabuhan banten menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa.para pedagang dari persia, gujarat, dan venesia berusaha enghindari selat malaka yang dikuasai potugis dan beralih ke selat sunda. banten kemudian berkembang menjdi bandar perdagangan maupun pusat penyebaran agama islam. setelah sultan hasanuddin wafat pada tahun 1570 M, ia digantikan oleh putranya yaitu maulana yusuf.

2. Maulana Yusuf

Maulana yusuf memerintah banten pada tahun 1570-1580 M. pada tahun 1579, maulana yusuf menaklukan kerajaan pajajaran di pakuan ( bogor ) dan sekligus menyinggirkan rajanya yang bernama prabu sedah. akibatnya, banyk rakyat pajajaran yang menyinggir ke pegunungan. mereka inilah yang sekarang dikenal sebagai orang-orang baduy atau suku baduy di rangkasbitung banten.

3. Maulana muhammad

Setelah sultan maulana yusuf wafat,putranya yang bernama maulana muhammad naik tahta pada usia 9 tahun. karena maulana muhammad masih sangat muda, pemerintahan dijalankan mengkubumi jayanegara sampai maulana muhammad dewasa ( 1580-1596 ). enam belas tahun kemudian, sultan maulana muhammad menyerang kesultanan palembang yang di dirikan oleh ki gendeng sure, seorang bangsawan demak. kerajaan banten yang juga keturunan demam merasa berhak atas daerah palembang. akan tetapi, banten mengalami kekalahan. sultan maulana muhammad tewas dalam pertempuran itu.

4. Pangeran Ratu ( Abdul Mufakhir )

Pangeran ratu,yang berusia 5 bulan, menjadi sultan banten yang ke empat ( 1596-1651 ). sampai pangeran ,dewasa, pemerintahan dijalankan oleh mangkubumi ranamanggala. pada saat itulah untuk pertama kalinya bangsa belanda yang di pimpin oleh cornelis de houtman, mendarat di banten pada tahun 22 juni 1596. pangeran ratu mendapat gelar kanjeng ratu banten. ketika wafat, beliau digantikan oleh anaknya yang dikenal dengan nama sultan ageng tirtaayasa.

5. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad 1647 – 1651

6. Sultan Ageng Tirtayasa [ Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah ]

Sultan ageng tirtayasa memerintah banten paada tahun 1651-1682bM, kerajaan banten pada masa beliau mencapai masa kejayaan. sultan ageng tirtayasa berusaha memperluas wilayah kerajaannya ini pada tahun 1671 M, sultan ageng tirtayasa mengangkat putranya menjadi raja pembantu dengan gelar sultan abdul kahar atau sultan haji. sultan haji menjalin hubungan baik dengan belanda. melihat hal itu, sultan ageng tirtayasa kecewa dan menarik kembali jabatan raja pembantu bagi sultan haji, akan tetapi, sultan haji berusaha mempertahankan dengan meminta bantuan kepada belanda. akibatnya terjadilah perang saudara. sultan ageng tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di batavia hingg beliau wafat pada tahun 1691 M.

7. Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 – 1687

8. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 – 1690

9. Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 – 1733

10. Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 – 1747

11. Ratu Syarifah Fatimah 1747 – 1750

12. Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 – 1773

13. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 – 1799

14. Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 – 1803

15. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 – 1808

16. Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813


Peninggalan Kerajaan Banten

Selama berkuasa kurang lebih 3 abad tersebut, kerajaan Banten meninggalkan beberapa bukti bahwa kerajaan ini pernah berjaya di pulau Jawa .Lantas, apa saja peninggalan kerajaan Banten yaitu sebagai berikut :

1. Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten adalah salah satu bukti peninggalan kerajaan Banten sebagai salah satu kerajaan Islam di Indonesia. Masjid yang berada di desa Banten Lama, kecamatan Kasemen ini masih berdiri kokoh sampai sekarang.

Masjid Agung Banten dibangun pada tahun 1652, tepat pada masa pemerintahan putra pertama Sunan Gunung Jati yaitu Sultan Maulana Hasanudin. Selain itu, Masjid Agung Banten juga merupakan salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia yang masih berdiri sampai sekarang.

Keunikan masjid ini yaitu bentuk menaranya yang mirip mercusuar dan atapnya mirip atap pagoda khas China. Selain itu, dikiri kanannya bangunan masjid tersebut ada sebuah serambi dan komplek pemakaman sultan Banten bersama keluarganya.

2. Istana Keraton Kaibon

Peninggalan kerajaan Banten yang selanjutnya yaitu bangunan Istana Keraton Kaibon. Istana ini dulunya digunakan sebagai tempat tinggal Bunda Ratu Aisyah yang merupakan ibu dari Sultan Syaifudin.

Tapi kini bangunan ini sudah hancur dan tinggal sisa-sisa runtuhannya saja, sebagai akibat dari bentrokan yang pernah terjadi antara kerajaan Banten dengan pemerintahan Belanda di nusantara pada tahun 1832.

3. Istana Keraton Surosowan

Selain Istana Keraton Kaibon, ada satu lagi peninggalan kerajaan Banten yang berupa Istana yaitu Istana Keraton Surosowan. Istana ini digunakan sebagai tempat tinggal Sultan Banten sekaligus menjadi tempat pusat pemerintahan.

Nasib istana yang dibangun pada 1552 ini juga kurang lebih sama dengan Istana Keraton Kaibon, dimana saat ini tinggal sisa-sisa runtuhan saja yang bisa kita lihat bersama dengan sebuah kolam pemandian para putri kerajaan.

4. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk adalah peninggalan kerajaan Banten sebagai bentuk dalam membangun poros pertahanan maritim kekuasaan kerajaan di masa lalu. Benteng setinggi 3 meter ini dibangun pada tahun 1585.

Selain berfungsi sebagai pertahanan dari serangan laut, benteng ini juga digunakan untuk mengawasi aktivitas pelayaran di sekitar Selat Sunda. Benteng ini juga memiliki Mercusuar, dan didalamnya juga ada beberapa meriam, serta sebuah terowongan yang menghubungkan benteng tersebut dengan Istana Keraton Surosowan.

5. Danau Tasikardi

Di sekitar Istana Keraton Kaibon, ada sebuah danau buatan yaitu Danau Tasikardi yang dibuat pada tahun 1570 – 1580 pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf. Danau ini dilapisi dengan ubin dan batu bata.

Danau ini dulunya memiliki luas sekitar 5 hektar, tapi kini luasnya menyusut karena dibagian pinggirnya sudah tertimbun tanah sedimen yang dibawa oleh arus air hujan dan sungai di sekitar danau tersebut.

Danau Tasikardi pada masa itu berfungsi sebagai sumber air utama untuk keluarga kerajaan yang tinggal di Istana Keraton Kaibon dan sebagai saluran air irigasi persawahan di sekitar Banten.

6. Vihara Avalokitesvara

Walaupun kerajaan Banten adalah kerajaan Islam, tapi toleransi antara warga biasa dengan pemimpinnya dalam hal agama sangat tinggi. Buktinya adalah adanya peninggalan kerajaan Banten yang berupa bangunan tempat ibadah agama Budha.

Tempat ibadah umat Budha tersebut yaitu Vihara Avalokitesvara yang sampai sekarang masih berdiri kokoh. Yang unik dari bangunan ini yaitu di dinding Vihara tersebut ada sebuah relief yang mengisahkan tentang legenda siluman ular putih.

7. Meriam Ki Amuk

Seperti yang disebut sebelumnya, di dalam benteng Speelwijk adalah beberapa meriam, dimana diantara meriam-meriam tersebut ada meriam yang ukurannya paling besar dan diberi nama meriam ki amuk.

Dinamakan seperti itu, karena konon katanya meriam ini memiliki daya tembakan sangat jauh dan daya ledaknya sangat besar. Meriam ini adalah hasil rampasan kerajaan Banten terhadap pemerintah Belanda pada masa perang.
Kehidupan Politik Kerajaan Banten

Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh Sultan Trenggana menguasai bandarbandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak berkuasa, daerah Banten merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Demak.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin wafat.

Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin. Di bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579 berhasil menaklukkan dan menguasai Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah Pajajaran ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.

Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir kekuasaannya, Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang. Dalam usaha menaklukkan Palembang, Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik takhta. Ia bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan Belanda.Usaha untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah pemerintahan Sultan Haji.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Banten

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya ialah: (1) letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan; (2) jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten; (3) Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada.

Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa dan sebagainya.
Baca Juga :  Proses Pembentukan Fosil Dan Syarat Terbentuknya Fosil Menurut Ahli Arkeologi
Kehidupan Sosial Dan Budaya Kerajaan Banten

Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur- angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.
Kehidupan Agama Kerajaan Banten

Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu- Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.

Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.

Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.

Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.

Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.


Kejayaan Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Dimana, Banten membangun armada dengan contoh Eropa serta memberi upah kepada pekerja Eropa. Namun, Sultan Ageng Tirtayasa sangat menentang Belanda yang terbentuk dalam VOC dan berusaha keluar dari tekanan VOC yang telah memblokade kapal dagang menuju Banten. Selain itu, Banten juga melakukan monopoli Lada di Lampung yang menjadi perantara perdagangan dengan negara-negara lain sehingga Banten menjadi wilayah yang multi etnis dan perdagangannya berkembang dengan pesat.
Runtuhnya Kerajaan Banten

Kerajaan Banten mengalami kemunduruan berawal dari perselisihan antara Sultan Ageng dengan putranya, Sultan Haji atas dasar perebutan kekuasaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh VOC dengan memihak kepada Sultan Haji. Kemudian Sultan Ageng bersama dua putranya yang lain bernama Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf terpaksa mundur dan pergi ke arah pedalaman Sunda. Namun, pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap dan ditahan di Batavia. Dilanjutkan pada 14 Desember 1683, Syekh Yusuf juga berhasil ditawan oleh VOC dan Pangeran purbaya akhirnya menyerahkan diri.

Atas kemenangannya itu, Sultan Haji memberikan balasan kepada VOC berupa penyerahan Lampung pada tahun 1682. Kemudian pada 22 Agustus 1682 terdapat surat perjanjian bahwa Hak monopoli perdagangan lada Lampung jatuh ketangan VOC. Sultan Haji meninggal pada tahun 1687. Setelah itu, VOC menguasai Banten sehingga pengangkatan Sultan Banten harus mendapat persetujuan Gubernur Jendral Hindian Belanda di Batavia.

Terpilihlah Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya sebagai pengganti Sultan Haji kemudian digantikan oleh Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Aabidin. Pada tahun 1808-1810, Gubernur Hindia Jenderal Belanda menyerang Banten pada masa pemerintahan Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin.

Penyerangan tersebut akibat Sultan menolak permintaan Hindia Belanda untuk memindahkan ibu kota Banten ke Anyer. Pada akhirnya, tahun 1813 Banten telah runtuh ditangan Inggris.
Warisan Sejarah Kerajaan Banten



Setelah dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan, dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi satu kawasan otonomi,

reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Selain itu masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah satu kekuatan yang dominan di Nusantara.

SEJARAH KERAJAAN DEMAK

 SEJARAH KERAJAAN DEMAK


 

Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besardan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Wali Sanga, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.

Demak didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang setelah naik takhta bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah. Menurut Babad Tanah Jawa, Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) dengan putri dari Campa Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi negara maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingannya turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu gagal. Di bidang keagamaan, Raden Patah dibantu Wali Sanga, menampilkan Demak sebagai pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Agung Demak.

Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521) Adipati Unus meninggal tanpa meningalkan putra sehingga seharusnya digantikan oleh adiknya, Pangeran Sekar Seda Lepen. Namun, Pangeran ini dibunuh oleh utusan kemenakannya yang lain, yaitu Raden Mukmin (nama kecil Sunan Prawoto) anak Pangeran Trenggana, Akibatnya yang menggantikan takhta Demak adalah adik Adipati Unus, yakni Pangeran Trenggana. la setelah naik takhta bergelar Sultan Trenggana. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Demak mencapai puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya sangat luas, meliputi Jawa Barat (Banten, Jayakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur.

Sepeninggal Sultan Trenggana, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan kekuasaan Arya Penangsang anak Pangeran Sekar Sedo Lepen dengan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggana. Sunan Prawoto kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang. Namun, Arya Penangsang kemudian berhasil juga dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu Sultan Trenggana yang menjadi Adipati Pajang. Joko Tingki yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Raja-Raja Kerajaan Demak
1. Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Raden Patah ( 1500 – 1518 )

Raden Patah pada masa sebelum mendirikan Kerajaan Demak terkenal dengan nama Pangeran Jimbun, dan setelah menjadi pendiri kerajaan Demak raja bergelar Sultan Alam Akbar al Fatah. kerajaan Demak menjadi kerajaan besar dan menjadi pusat penyebaran agama Islam yang penting Pada masa pemerintahan Raden Patah, dan Raden Patah juga membangun Masjid Agung Demak yang letaknya ditengah kota Alun-alun Demak.

Kedudukan Demak semakin penting peranannya sebagai pusat penyebaran agama Islam setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Namun, walaupun begitu hal itu suatu saat juga menjadi ancaman bagi kekuasaan Demak. Karena itu pada tahun 1513, Raden Patah mengutus putranya sendiri yaitu Pati Unus dan para armadanya diutus untuk menyerang Portugis di Malaka. Walau Serangan ke Malaka sudah dibantu oleh Aceh dan Palembang tetapi gagal dikarenakan kualitas persenjataan yang kurang memadai dibanding Portugis di Malaka.

2. Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Pati Unus ( 1518 – 1521 )

Pada tahun 1518 ketika Raden Patah sudah wafat kemudian pemerintahan Kerajaan Demak digantikan putranya sendiri yaitu Pati Unus. Pati Unus sangat terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin perlawanan terhadap Portugis yang telah menguasai Malaka. dan karena keberaniannya itu Pati Unus mendapatkan julukan Pangeran Sabrang lor. Ia juga mengirim Katir untuk mengadakan blokade terhadap Portugis di Malaka, hal itu mengakibatkan Portugis kekurangan bahan makanan.

3. Kerajaan Islam Demak masa pemerintahan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 )

Ketika Pati Unus wafat, pati unus tidak memiliki putra.jadi tahta kerajaan digantikan oleh adiknya yang bernama Raden Trenggono. dan di bawah pemerintahan Sultan Trenggono inilah pemerintahan Demak mencapai masa kejayaannya. Raden Trenggono dikenal sebagai raja yang sangat bijaksana dan gagah berani. dan berhasil memperlebar wilayah kekuasaannya yang meliputi dari Jawa Timur dan Jawa Barat.
Pada turun-temurun berdirinya demak sampai masa pemerintahan Raden Trenggono Musuh utama Demak adalah Portugis yang mulai memperluas pengaruhnya ke jawa Barat dan alhasil pihak portugis bisa mendirikan benteng Sunda Kelapa di jawa barat.

Pada tahun 1522 Sultan Trenggono mengirim tentaranya ke Sunda kelapa dibawah pimpinan Fatahillah yang bertujuan untuk mengusir bangsa Portugis dari sunda kelapa. Tahun 1527 Fatahillah dan para pengikutnya berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Dan Sejak saat itulah Sunda Kelapa diganti namanya menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan yang sempurna danampai saat ini dikenal dengan nama Jakarta.

Sultan Trenggono yang berencana menyatukan pulau Jawa di bawah kekuasaan Demak dan untuk mewujudkan cita-cita itu Sultan Trenggono mengambil langkah cerdas sebagai berikut :

    menyerang daerah Pasuruan di Jawa Timur ( kerajaan Hindu Supit Urang )
    dipimpin Sultan Trenggono sendiri, serangan ke Pasuruan tidak membawa hasil
    karena Sultan Trenggono meninggal
    menyerang Jawa Barat ( Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon ) dipimpin
    Fatahillah
    mengadakan perkawinan politik. Misalnya :

        Pangeran Hadiri dijodohkan dengan puterinya ( adipati Jepara )
        Fatahillah dijodohkan dengan adiknya
        Pangeran Pasarehan dijodohkan dengan puterinya ( menjadi Raja Cirebon )
        Joko Tingkir dijodohkan dengan puterinya ( adipati Pajang )

Peninggalan Kerajaan Demak

Kerajaan Demak berdiri pada tahun 1475. Bukti sejarah yang mengabarkan tentang keberadaan kerajaan ini di masa lalu sudah cukup banyak didapatkan. Adapun beberapa bukti lain yang berupa peninggalan bersejarah seperti bangunan atau benda-benda tertentu juga masih terpelihara hingga sekarang. Beberapa bangunan atau benda peninggalan kerajaan Demak yaitu sebagai berikut :

1. Masjid Agung Demak

Peninggalan Kerajaan Demak yang paling dikenal tentu adalah Masjid Agung Demak. Bangunan yang didirikan oleh Walisongo pada tahun 1479 ini masih berdiri kokoh hingga saat ini meski sudah mengalami beberapa renovasi. Bangunan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa kerajaan Demak pada masa silam telah menjadi pusat pengajaran dan penyebaran Islam di Jawa. Jika Anda tertarik untuk melihat keunikan arsitektur dan nilai-nilai filosofisnya , datanglah ke masjid ini. Letaknya berada di Desa Kauman, Demak – Jawa Tengah.

2. Pintu Bledek

Dalam bahasa Indonesia, Bledek berarti petir, oleh karena itu, pintu bledek bisa diartikan sebagai pintu petir. Pintu ini dibuat oleh Ki Ageng Selo pada tahun 1466 dan menjadi pintu utama dari Masjid Agung Demak. Berdasarkan cerita yang beredar, pintu ini dinamai pintu bledek tak lain karena Ki Ageng Selo memang membuatnya dari petir yang menyambar. Saat ini, pintu bledek sudah tak lagi digunakan sebagai pintu masjid. Pintu bledek dimuseumkan karena sudah mulai lapuk dan tua. Ia menjadi koleksi peninggalan Kerajaan Demak dan kini disimpan di dalam Masjid Agung Demak.

3. Soko Tatal dan Soko Guru

Soko Guru adalah tiang berdiameter mencapai 1 meter yang berfungsi sebagai penyangga tegak kokohnya bangunan Masjid Demak. Ada 4 buah soko guru yang digunakan masjid ini, dan berdasarkan cerita semua soko guru tersebut dibuat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Sang Sunan mendapat tugas untuk membuat semua tiang tersebut sendiri, hanya saja saat ia baru membuat 3 buah tiang setelah masjid siap berdiri. Sunan Kalijaga dengan sangat terpaksa kemudian menyambungkan semua tatal atau potongan-potongan kayu sisa pembuatan 3 soko guru dengan kekuatan spiritualnya dan mengubahnya menjadi soko tatal alias soko guru yang terbuat dari tatal.

4. Bedug dan Kentongan

Bedug dan kentongan yang terdapat di Masjid Agung Demak juga merupakan peninggalan Kerajaan Demak yang bersejarah dan tak boleh dilupakan. Kedua alat ini digunakan pada masa silam sebagai alat untuk memanggil masyarakat sekitar mesjid agar segera datang melaksanakan sholat 5 waktu setelah adzan dikumandangkan. Kentongan berbentuk menyerupai tapal kuda memiliki filosofi bahwa jika kentongan tersebut dipukul, maka warga sekitar harus segera datang untuk melaksanakan sholat 5 waktu secepat orang naik kuda.

5. Situs Kolam Wudlu

Situs kolam wudlu dibuat seiring berdirinya bangunan Masjid Demak. Situs ini dahulunya digunakan sebagai tempat berwudlu para santri atau musyafir yang berkunjung ke Masjid untuk melaksanakan sholat. Namun, saat ini situs tersebut sudah tidak digunakan lagi untuk berwudlu dan hanya boleh dilihat sebagai benda peninggalan sejarah.

6. Maksurah Maksurah

adalah dinding berukir kaligrafi tulisan Arab yang menghiasi bangunan Masjid Demak. Maksurah tersebut dibuat sekitar tahun 1866 Masehi, tepatnya pada saat Aryo Purbaningrat menjabat sebagai Adipati Demak. Adapun tulisan dalam kaligrafi tersebut bermakna tentang ke-Esa-an Alloh.

7. Dampar Kencana

Dampar kencana adalah singgasana para Sultan yang kemudian dialih fungsikan sebagai mimbar khutbah di Masjid Agung Demak. Peninggalan Kerajaan Demak yang satu ini hingga kini masih terawat rapi di dalam tempat penyimpanannya di Masjid Demak.

8. Piring Campa

Piring Camapa adalah piring pemberian seorang putri dari Campa yang tak lain adalah ibu dari Raden Patah. Piring ini jumlahnya ada 65 buah. Sebagian dipasang sebagai hiasan di dinding masjid, sedangkan sebagian lain dipasang di tempat imam.
Kehidupan Politik Kerajaan Demak

Raja pertama dari Kerajaan Demak ialah Raden Patah yang bergelar Senapati Jumbung Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.

Pada tahun 1507, Raden Patah turun tahta dan digantikan oleh seorang putranya yang bernama Pati Unus. Sebelum diangkat menjadi Raja, Pati Unus sebelumnya sudah pernah memimpin armada laut kerajaan Demak untuk menyerang Portugis yang berada di Selat Malaka.

Sayangnya, usaha Pati Unus tersebut masih mengalami kegagalan. Namun karena keberaniannya dalam menyerang Portugis yang ada di Malaka tersebut, akhirnya Pati unus mendapat julukan sebagai Pangeran Sabrang Lor.

Lalu pada tahun 1521, Pati Unus wafat dan tahtanya digantikan oleh adiknya yang bernama Trenggana. Pada masa inilah kerajaan Demak mencapai pusak kejayaannya.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Demak

Kerajaan Demak telah menjadi salah satu pelabuhan terbesar yang ada di Nusantara, Demak memegang peran yang sangat penting dalam aktivitas perekonomian antarpulau.

Demak memiliki peran yang penting karena memiliki daerah pertanian yang lumayan luas dan menjadi penghasil bahan makanan seperti beras. Selain itu, perdagangannya juga semakin meningkat. Barang yang banyak diekspor yaitu Lilin, Madu dan Beras.

Barang-barang tersebut lalu diekspor ke Malaka melalui Pelabuhan Jepara. Aktivitas perdagangan Maritim tersebut telah menyebabkan kerajaan demak mendapat keuntungan sangat besar. Banyak kapal yang melewati kawasan laut jawa dalam memasarkan barang dagangan tersebut.
Kehidupan Sosial Dan Budaya

Dalam kehidupan sosial dan budaya, rakyat kerajaan Demak sudah hidup dengan teratur. Roda kehidupan budaya dan sosial masyarakat Kerajaan Demak sudah diatur dengan hukum Islam sebab pada dasarnya Demak ialah tempat berkumpulnya para Wali Sanga yang menyebarkan islam di pulau Jawa.

Adapun sisa peradaban dari kerajaan Demak yang berhubungan dengan Islam dan sampai saat ini masih dapat kita lihat ialah Masjid Agung Demak. Masjid tersebut merupakan lambang kebesaran kerajaan Demak yang menjadi kerajaan Islam Indonesia di masa lalu.

Selain memiliki banyak ukiran islam (kaligrafi), Masjid Agung Demak juga memiliki keistimewan, yaitu salah satu tiangnya terbuat dari sisa sisa kayu bekas pembangunan masjid yang disatukan.
Baca Juga :  √ Pengertian Sistem Informasi Menurut Para Ahli & Komponennya Lengkap

Selain Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga adalah yang mempelopori dasar-dasar perayaan Sekaten yang ada dimasa Kerajaan Demak. Perayaan tersebut diadakan oleh Sunan Kalijaga dalam untuk menarik minat masyarakat agar tertarik untuk memeluk Islam.

Perayaan Sekaten tersebut lalu menjadi sebuah tradisi atau kebudayaan terus menerus dipelihara sampai saat ini, terutama yang berada didaerah Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta.
Kejayaan Kerajaan Demak

Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Di bawah Pimpinan Pati Unus( Pangeran sabrang Lor )

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.

Di bawah Pimpinan Sultan Trenggana

Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.
Runtuhnya Kerajaan Demak

Setelah sultan trenggono wafat, terjadi konflik perebutan kekuasaan di antara anggota kerajaan. Penggnti sultan trenggono adalah Pangeran sedo lepen yang adalah saudara dari sultan trenggono, Ia di bunuh oleh anak dari sultan trenggono yaitu Pangeran Prawoto. Perebutan tahta terus berlanjut dan berkembang menjadi perang suadara. Putra dari pangeran sedo lepen yang bernama arya penangsang membunuh pangeran prawoto, dan mengambil alih tampuk kekuasaan.

Kemudian Joko tingkir (hadiwijaya) yang saat itu menjabat adipati pajang dan ki ageng pemanahan dan ki penjawi , arya penangsang berhasil dikalahkan dan di bunuh oleh anak angkat joko tingkir yang bernama sutawijaya. Setelah itu tahta kerajaan demak jatuh ketangan joko tingkir pada tahun 1568 M , Ia kemudian memindahkan ibukota demak ke pajang. dengan ini bisa di bilang jika kesultanan demak telah berakhir.

Senin, 29 Oktober 2018

KERAJAAN KEDIRI

KERAJAAN KEDIRI


 



Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042.



Hal ini sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha. Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.



Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.



Tidak ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri.



Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).



Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.



Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata “Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).

Untuk itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :

” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”.



Dalam prasasti itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.

“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).

Tatkala Bagawantabhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.


Raja-Raja Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.

Adapun 8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :

1. Sri Jayawarsa

Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

2. Sri Bameswara

Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan, sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.

3. Prabu Jayabaya

Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang beribu kota  di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.

Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.

Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar, sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.

Prabu Jayabaya memerintah antara tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.

Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu bijaksana dan adil terhadap rakyat.

4. Sri Sarwaswera

Sejarah tentang raja ini didasarkan pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.

Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.

5. Sri Aryeswara

Berdasarkan prasasti Angin (1171), Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23 Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti Jaring adalah Sri Gandra.

6. Sri Gandra

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra (1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.

7. Sri Kameswara

Masa pemerintahan Raja Sri Gandra dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.

8. Sri Kertajaya

Berdasarkan prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada tahun 1190 hingga 1222 Masehi.

Raja Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana.

Keadaan ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok.

Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Kitab Perundang-undangan

Sistem Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan, Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).

Pada pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang Hukum Perdata.

Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana, jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Sistem Peradilan Kerajaan



Sistem peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama.

Semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan demikian:

Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).

Dalam soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan agama.

Kedudukan Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya : Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat Pamotan.

Mereka itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan. Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare.



Ketika Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang (Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada zaman Kadiri.

Lembaga peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya, menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.
Hukum Positif dan Budaya Simbolik



Dalam masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama. Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran hukum dan dendanya pun diatur secara detail.

Di samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.

Empu Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157 Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.

Tingkat kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis, lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban sosial.

Prabu Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan.

Selama Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan sebagai program utama yaitu :

    Wastra (sandang)
    2. Wareg (pangan)
    3. Wisma (papan)
    4. Wasis (pendidikan)
    5. Waras (kesehatan)
    6. Waskita (keruhanian), dan
    7. Wicaksana (kebijaksanaan).

Masyarakat Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan referensi untuk membawa kebesaran Nusantara.

Kebesaran dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan ketentraman rakyat.


Peninggalan Kerajaan Kediri

Sumber sejarah kerajaan Kediri  dapat di telusuri  dari beberapa prasasti  dan berita asing  di antaranya :

    Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu  atas Jenggala.
    Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan Panjalu pada masa Jayabaya.
    Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian hadiah tanah kepada   rakyat desa oleh Jayawarsa.
    Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah     keagamaan ,  berasal dari raja Bameswara.
    Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja Jayabaya  yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas dari pajak.
    Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada.
    Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang.
    Candi Penataran : Candi termegah dan terluas di Jawa Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
    Candi Gurah : Candi Gurah terletak di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
    Candi Tondowongso : Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
    Arca Buddha Vajrasattva : Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri (abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
    Prasasti Galunggung : Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno. Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata. Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.
    Candi Tuban : Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.

    Menurut Pak Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
    Prasasti Panumbangan : Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
    Prasasti Talan : Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha.

    Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa berbagai macam hak istimewa.

Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :

    Kitab Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.

    Kitab Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.

    Kitab Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

    Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.

    Kitab Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal untuk Begawan Trenawindu.

    Kitab Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.

    Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.

Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.

Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala.  Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.

Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.

Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.


Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri

Strategi kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.



Hasil bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.

Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian Kediri bersumber atas usaha  perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.



Untuk menopang  penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak. Komoditas dagang berupa beras, emas, perak, daging,  dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, dan palawija.
Kehidupan AGAMA DAN SPIRITUAL Kerajaan Kediri

Agama yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju (Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur.



Hal ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda jaman saat ini.

Prabu Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau, hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana dan adil terhadap rakyatnya.

Kehidupan beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu disusun sebagai berikut :

Bab I               :     Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi, aliansi,   konstribusi dan  sanksi.
Bab II              :     Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan,  pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
Bab III            :     Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
Bab IV            :     Astacorah, berisi tentang delapan macam penyimpangan  administrasi  kenegaraan.
Bab V              :     Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
Bab VI            :     Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
Bab VII           :     Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara pengelolaan lembaga  pegadaian.
Bab  VIII        :     Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam
Bab IX            :     Titipan, berisi tentang sistem lumbung dan penyimpanan barang.
Bab X              :     Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
Bab XI            :     Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
Bab XII           :     Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
Bab XIII         :     Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian warisan.
Bab XIV         :     Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan pencemaran  nama baik.
Bab XV           :     Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran administrasi
Bab XVI         :     Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang menyebabkan  kerugian publik.
Bab XVII        :     Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan permusuhan.
Bab XVIII      :     Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak
Bab XX           :     Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan kebohongan  publik.


Kehidupan Sosial Dan Budaya

Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.

Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.

Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.

Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.

    Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
    Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
    Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.

Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai berikut.

    Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
    Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.

Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
Karya di Bidang Hukum Tata Negara



Empu Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan idealismenya.

Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana. Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau juga seorang humanis. Empu Manoguna adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri.



Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan penasehat utama Prabu Jayawarsa.

Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar, baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam memimpin rakyatnya.

Karya hukum dan tata praja Empu Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang berdasarkan pada nilai keadilan dan perdamaian.

            Kerajaan Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana, manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban, terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh  yang hingga kini merupakan warisan ruhani bermutu tinggi
Kejayaan Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian. Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.
Runtuhnya Kerajaan Kediri

Kerajaan Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.



Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan serangan  ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter , sekitar Malang (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.



Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.

KESIMPULAN



Kerajaan Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri ( sekarang ) ini mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.

Hal ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan.

Kehidupan yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada. Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya  pada saat itu juga telah diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri. Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222 M).

Kerincuhan dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada akhirnya bernama Singasari.

Namun, keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami kemajuan secara gilang-gemilang.
ERAJAA